Hajar Aswad, Kisah Sebongkah Batu dari Surga


Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada masa pemerintahan Al-Qadir Billah Muhammad bin Al-Mu'tadhid dengan cara mencongkel dari tempatnya, hajar aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka'nah.



Asal Usul Hajar Aswad

Perlu diketahui bahwa hajar aswad adalah batu yang diturunkan dari surga. Asalnya itu putih seperti salju. Namun karena dosa manusia dan kelakuan orang-orang musyrik di muka bumi, batu tersebut akhirnya berubah jadi hitam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ »

Artinya: Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hajar Aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam". (HR Tirmidzi. Shahih memnurut Syaikh Al Albani)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ « الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَكَانَ أَشَدَّ بَيَاضاً مِنَ الثَّلْجِ حَتَّى سَوَّدَتْهُ خَطَايَا أَهْلِ الشِّرْكِ.
Artinya: Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hajar Aswad adalah batu dari surga. Batu tersebut lebih putih dari salju. Dosa-dosa orang musyrikin yang membuatnya menjadi hitam". (H Ahmad. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa lafazh 'hajar aswad adalah batu dari surga' shahih dengan syawahidnya. Sedangkan bagian hadits setelah itu tidak memiliki syawahid yang bisa menguatkannya. Tambahan setelah itu dho'if karena kelirunya 'Atho'). 
Keadaan batu mulia ini di hari kiamat di hari kiamat sebagaimana dikisahkan dalam hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى الْحَجَرِ « وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ »

Artinya: Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai hajar aswad, "Demi Allah, Allah akan mengutus batu tersebut pada hari kiamat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya." (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Abu Isa At-Turmudzi mengatakan bahwa hadits ini hasan dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
Wallahu waliyyut taufiq.

Keutamaan Hajar Aswad

Apa saja keutamaan Hajar Aswad dan rukun yamani? Kenapa setiap orang yang berthawaf dianjurkan untuk mengusapnya?
Ketahuilah bahwa Ka'bah memiliki empat rukun. Rukun pertama adalah rukun Hajar Aswad. Kedua adalah rukun Yamani. Rukun Hajar Aswad dan rukun Yamani disebut dengan Yamaniyaani. Adapun dua rukun yang tersisa disebut dengan Syamiyyaani.
Rukun hajar Aswad memiliki dua keutamaan, yaitu:
  1. Di sana adalah letak Qowa'id (pondasi) Ibrahim AS.
  2. Di sana terdapat Hajar Aswad.
Sedangkan rukun Yamani hanya memiliki satu keutamaan saja, yaitu di sana adalah letak Qowa'id (pondasi) Ibrahim AS. Adapun dirukun yang lainnya tidak ada salah satu dari dua keutamaan tadi. Oleh karena itu, Hajar Aswad dikhususkan dua hal, yaitu mengusap dan menciumnya karena rukun tersebut memiliki dua keutamaan tadi. Sedangkan rukun Yamani disyaratkan untuk mengusapnya dan tidak untuk menciumnya karena rukun tersebut hanya memiliki satu keutamaan. Sedangkan rukun yang lainnya tidak disyaratkan mengusap dan menciumnya. Wallahu a'lam.

Apakah Kaum Muslimin Menyembah Ka'bah dan Hajar Aswad?

Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya:"Bagaimana membantah orang atheis yang mengatakan, "Wahai kaum muslimin, kalian sendiri menyembah batu (Hajar Aswad) dan berputar mengelilinginya! Lantas, kenapa kalian menyalah-nyalahkan yang lain menyembah berhala dan patung/gambar?"
Syaikh Shalih Al Fauzan memberikan jawaban sebagai berikut: Ini jelas kebohongan yang nyata, kami sama sekali tidak menyembah batu (Hajar Aswad), melainkan kami menyentuhnya dan menciumnya sebagaimana yang Nabi Muhammad SAW lakukan. Ini artinya kami lakukan hal tersebut dalam rangka ibadah dan mengikuti Nabi SAW. Mencium hajar aswad adalah bagian dari ibadah sebagaimana kita wuquf di 'Arafah, brmalam di Muzdalifah dan thawaf mengelilingi baitullah (Ka'bah). Juga kita mencium hajar aswad dan menyentuhnya atau memberi isyarat padanya, itu semua bentuk ibadah kepada Allah, bukan berarti menyembah batu tersebut. Lebih dari itu, kita bisa beralasan dengan apa yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab RA ketika mencium hajar aswad. Ketika itu beliau mengatakan:

إِنِّي لأَعْلَمُ أََنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وُلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ الله ِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلتُكَ  (متفق عليه)

"Memang aku tahu bahwa engkau hanyalah batu, tidak dapat mendatangkan manfaat atau bahaya. Jika bukan karna aku melihat Rasulullah SAW menciummu, aku tentu tidak akan menciummu." (HR Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, Masalah ini berkaitan dengan bagaimana umat islam mengikuti tuntutan Nabinya dan bukan menyembah batu (Hajar Aswad). Jadi, sebenarnya merekan yang menyebarkan isu demikian telah merencanakan kebohongan atas umat islam, Kita sama sekali tidak menyembah Ka'bah. Bahkan yang kita sembah adalah Rabb pemilik Ka'bah. Begitu pula kita thawaf keliling Ka'bah dalam rangka kita beribadah kepada Allah 'azza wa jalla dan menuruti tuntutan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. ('Aqidatul-Haaj Fi Dhouil Kitaab was Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, Hal 22-23).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya orang, "Apakah mencium Hajar Aswad itu tabarruk (mencari berkah) ?"

Beliau menjawab, Hikmah thawaf telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.

"Sesungguhnya Thawaf di Ka'bah, Sa'i di Shafa dan Marwa, dan melontar jumroh itu dijadikan untuk menegakkan dzikrullah (Berzikir kepada Allah)."

Pelaku thawaf yang mengitari Baitullah itu dengan hatinya ia melakukan pengagungan kepada Allah SWT yang menjadikannya selalu ingat kepada Allah, semua gerak-geriknya, seperti melangkah, mencium, dan beristilam kepada hajar dan sudut (rukun) yamani dan memberi isyarat kepada hajar aswad sebagai dzikir kepada Allah Ta'ala, sebab hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya. Dan setiap ibadah adalah dzikir kepada Allah dalam pengertian umumnya. Adapun takbir, dzikir dan do'a yang diucapkan dengan lisan adalah sudah jelas merupakan dzikrullah, sedangkan mencium hajar aswad itu merupakan ibadah di mana seseorang menciumnya tanpa ada hubungan antara dia dan hajar aswad selain beribadah kepada Allah semata dengan mengagingkan-Nya dan mencontoh Rasulullah SAW dalam hal itu, sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab RA ketika beliau mencium hajar aswad mengatakan:

إِنِّي لأَعْلَمُ أََنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وُلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ الله ِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلتُكَ  (متفق عليه)

"Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfaat. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu."

Adapun dugaan sebagai orang-orang awam (bodoh) bahwa maksud dari mencium hajar aswad adalah untuk mendapat berkah adalah dugaan yang tidak memiliki dasar, maka dari itu batil. Sedangkan yang ditanyakan oleh sebagian kaum Zindiq (kelompok sesat) bahwa thawaf di Baitullah itu sama halnya dengan thawaf di kuburan para wali dan ia merupakan penyembah terhadap berhala, maka hal itu merupakan kezindikan (kekufuran) mereka, sebab kaum muslimin tidak melakukan thawaf kecuali atas dasar perintah Allah, sedangkan apa saja yang diperintahkan oleh Allah, maka melaksanakannya merupakan ibadah kepada-Nya.

Tidakkah anda tahu bahwa melakukan sujud kepada selain Allah itu merupakan syirik akbar, namun setelah Allah memerintahkan kepada para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam AS, maka sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam AS itu merupakan ibadah kepada Allah SWT dan tidak melakukannya adalah merupakan kekufuran.

Maka dari itu, thawaf di Baitullah adalah merupakan salah satu dari ibadah yang paling agung, ia salah satu dari rukun di dalam haji, sedangkan haji merupakan salah satu rukun islam, Maka dari itu orang yang thawaf di Baitullah pasti akan merasakan ketentraman karena lezat-nya melakukan thawaf, dan hatinya merasakan kedekatannya kepada Rabb (tuhan)nya, yang dengannya (thawaf itu) dapat diketahui keagungan-Nya dan amat besar karunia-Nya. (Ibnu Utsaimin: fatawal 'aqidah, hal 28-29.)

Renovasi Ka'bah dan Peletakan Hajar Aswad

Ketika Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, beliau belum diangkat oleh Allah sebagai seorang nabi. Waktu itu kota mekkah dilanda banjir besar yang meluap sampai ke Masjidil Haram. Orang-orang Quraisy menjadi khawatir banjir ini akan dapat meruntuhkan Ka'bah. Selain itu, bangunan Ka'bah dahulunya belum beratap. Tingginya pun hanya sembilan hasta. Ini menyebabkan orang mudah untuk memanjatnya dan mencuri barang-barang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu bangsa Quraisy sepakat untuk memperbaiki bangunan Ka'bah tersebut dengan terlebih dahulu merobohkannya. Untuk perbaikan Ka'bah ini, orang-orang Quraisy hanya menggunakan harta yang baik-baik saja. Mereka tidak menerima harta dari hasil melacur, riba dan hasil perampasan.

Di awal-awal perbaikan, pada awalnya mereka masih takut merobohkan Ka'bah. Akhirnya salah seorang dari mereka yang bernama Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy bangkit mengawali perobohan tersebut. Setelah melihat tidak ada yang terjadi pada Al-Walid, orang-orang Quraisy pun mulai ikut merobohkan Ka'bah sampai kebagian rukun Ibrahim. Mereka membagi kemudian membagi sudut-sudut Ka'bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri. Pembangunan Ka'bah dipimpin oleh arsitek dari bangsa Romawi yang bernama baqum. Ketika pembangunan sampai ke bagian hajar aswad, bangsa Quraisy berselisih tentang siapa yang mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ketempatnya semula. Mereka berselisih empat sampai lima hari. Perselisihan ini bahkan sampai hampir menyebebkan pertumpahan darah. Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama kali lewat pintu mesjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide itu.

Allah subhanahu wa ta'ala kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama kali lewat pintu mesjid adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam. Orang-orang Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam permasalahan tersebut. Rasulullah pun kemudian menyerahkan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikir oleh mereka. Bagaimana jalan keluarnya?
Beliau mengambil selembar selendang. kemudian hajar aswad diletakkan di tengah-tengah selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka-pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat hajar aswad itu bersama-sama. setelah mendekati tempatnya, Rasulullah SAW yang kemudian meletakkan hajar aswad tersebut. Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju dan meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan darah.

Penjarahan Hajar aswad

Adalah Abu Thahir, Sulaiman bin Abu Said Al Husain Al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan peperangan dengan kaum Muslimin. kota yang suci, Mekkah dan Masjidil Haram tidak luput dari kejahatannya. Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan, perampokan, dan merusak rumah-rumah. Bila terdengar namanya orang-orang akan berusaha lari untuk menyelamatkan diri.

Kisahnya, pada musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan Manshur Ad-Dailami bertolak menuju Mekkah dan sampai dalam keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), orang-orang Qaramithah (salah satu sekte Syiah Isma 'iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji yang jadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat Ka'bah.

Sementara itu, pimpinan orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir -semoga mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah- berdiri di pintu Ka'bah dengan pengawalan, menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa manusia. Dengan congkak ia berkata: "Saya adalah Allah. Saya bersama Allah. Sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan mereka".

Massa berlarian menyelamatkan diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka'bah. Namun, mereka tetap menjadi korban, pedang-pedang kaum Syi'ah Qaramithah ini menebasnya. Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari pedang-pedang mereka, termasuk di dalamnya orang-orang yang ahli hadits. Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira terhadap para jemaah haji, Abu Thahir memerintahkan untuk mengubur jasad-jasad keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam-Zam. Sebagian lainnya, di kubur di tanah haram dan di likasi Masjidil haram.

Kubah sumur Zam-Zam ia hancurkan. Dia juga memerintahkan agar pintu Ka'bah dicopot dan melepas kiswahnya. Selanjutnya, ia merobek-robeknya di hadapa pengikutnya. Dia meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka'bah dan mencabut talang Ka'bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut jatuh dan mati seketika. Abu Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka'bah. Kemudian, ia memerintahkan untuk mencongkel hajar aswad dari tempatnya. Seorang memukul dan mencongkelnya.

Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumber: "Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari neraka Sijjil?"

Peristiwa penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekkah dan keluarganya dengan didukung sejumlah pasukan mengejar mereka. Amir Mekkah berusaha membujuk Abu Thahir agar mau mengembalikan hajar aswad dan harta-harta rampasan dari jemaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang kedaerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.

Menurut Ibnu Katsir, Qaramithah membabi buta semacam itu, karena mereka itu sebenarnya kuffar zanadiqah. Mereka berafiliasi kepada regim Fatimiyyun yang telah menancapkan hegemoninya pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika. Pimpiman mereka bergelar Al-Mahdi, yaitu Abu Muhammad 'Ubaidillah bin Maimun Al-Qadah. Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang berprofesi sebagai tukang emas. Lantas, mengaku telah masuk Islam, dan mengaku berasal dari kalangan Syarif (keturunan Nabi Muhammad). Banyak orang dari suku Barbar mempercayainya. Hingga pada akhirnya, ia dapat memegang kekuasaan di wilayah tersebut. Orang-orang Qaramithahmenjalin hubungan baik dengannya. Mereka (Qaramithah) akhirnya menjadi semakin kuat dan terkenal.

Pebuatan Abu Thahir Al-Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh Ibnu Katsir dikatakan: "Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya", (Al-Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini pada halaman 190-192) Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapi pada tahun 339H. Pada saat mengungkapkan kejadian tahun 339H, Ibnu Katsir menyebutkan sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan Dzul hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan kaum Muslimin.

Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan. Amir Bajkam At-Turki menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak meluluhkan Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini berkilah: "Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan mengembalikannya berdasarkan perintah yang bersangkutan".

Pada tahun 339H, sebelum mengembalikan ke Mekkah, orang-orang Qaramithah mengusungkan Hajar Aswad ke kufah, dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid kufah. Agar, orang-orang dapat menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan: "Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar".

Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Mekkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di Mekkah pada bulan Dzul Qa'adah tahun 339H. (Al Bidayah wan Nihayah) Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta, Punuk-punuk onta sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan dikembalikan hanya butuh satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan. 
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment