Adab Menerima Tamu

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh


Silaturahmi memang sangat di anjurkan dalam Islam, karena mengandung manfaat bagi semuanya. Di antaranya, sebagaimana di sebutkan dalam hadits, dapat memanjangkan umur dan meluaskan rezqi.

yang perlu di perhatikan, karena selama ini masih kurang mendapat perhatian, adalah adab menerima tamu, terutama di luar suasana Lebaran. Di saat Lebaran, biasanya orang menerima dan menjamu tamu lebih baik daripada di hari-hari biasa.

Sesungguhnya menerima dan memuliakan tamu dengan baik bukan hanya di saat-saat Lebaran, melaikan juga berlaku di setiap waktu. Dalam Islam, memuliakan tamu hukumnya wajib, bukan sunnah. Karenanya, sangat disayangkan bila kini banyak di antara kaum musliminyang kurang memperhatikannya, atau mungkin tidak memahaminya.

Dalam sebuah hadit, Nabi SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya; brang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya; dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam saja." (HR Al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadits yang lain dikatakan, "Barang siapa menyembelih suatu sembelihan untuk tamunya, sembelihannya itu menjadi tebusan dari api neraka." (HR Al-Hakim).

Memuliakan tamu berarti menerima dengan baik mereka yang datang ke tempat kita, termasuk bermalam semalam-dua malam serta menjamunya dan memberikan perbekalan kepadanya ketika ia pulang (pergi dari tempat kita) sesuai kemampuan kita.

Menjamu tamu yang datang adalah suatu keutamaan dan terhitung akhlaq yang mulia. Bahkan, memuliakan tamu sebagaimana mestinya itu dipandang tanda iman yang besar. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya, yakni memberikan ja-izah (hadiah) kepadanya,"

para sahabat bertanya,"Apa ja-izahnya , wahai Rasulullah?"

Nabi menjawab, "Sehari semalam dan perjamuan tiga hari-tiga malam. Apabila telah lewat tiga hari-tiga malam, segala yang kita berikan kepada para tamu (umpamanya makan-minumnya) dihukumkan sebagai sedekah." (HR Ahmad dan Abu Daud).

Sesudah tiga hari-tiga malam kita meladeninya sebagai tamu, habislah sudah haknya dan berakhir pula kewajiban kita terhadapnya. Dan tiga hari itu, memang kita diwajibkan oleh agama untuk memuliakannya. Pada hari ia berangkat dari rumah kita, hendaklah kita berikan pada hari itu hadiah, yaitu untuk kebutuhannya sehari-semalam lamanya.

Jika tamu kita itu tidak berangkat juga dari rumah kita pada hari keempat, segala yang kita berikan kepadanya dihukumkan sedekah. Haknya sebagai tamu sudah habis dan kewajiban kita melayaninya sebagai tamu sudah selesai. Jadi, batas pertamuan itu tiga hari-tiga malam saja. Lewat dari itu, para tamu tidak boleh lagi tinggal di rumah kita, kecuali bila kita rela menerimanya.

Hal ini mengingat hadits Nabi SAW, "Dan tidak halal (tidak bolah) berdiam lama-lama di rumah orang yang menerimanya, karena yang demikian itu memberatkan tuan rumah." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Abu Hurairah meriwayatkan, seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullah seraya menerangkan bahwa dirinya adalah orang yang sangat sengsara. Maka Rasulullah menyuruh agar ditanyakan kepada ummul mu'minin, adakah makanan yang dapat diberikan kepada lelaki yang datang itu.

Ummul mu'minin yang ditanya itu menjawab, tak ada sesuatu makanan yang dapat disediakan untuk tamu. Yang ada di rumah Rasul ketika itu hanyalah air.

Kemudian Rasulullah menyuruh agar ditanyakan kepada ummul mu'minin yang lain. Ternyata jawaban yang diperoleh tetap sama.

Sehabis ditanyakan kepada semua ummul mu'minin, Nabi pun bertanya kepada para sahabat, barangkali ada yang sanggup menjamu tamu itu satu malam saja.

Seorang Anshar menyanggupi menjamu lelaki tersebut.

Sesampai di rumah, ia bertanya kepada istrinya tentang makanan yang dapat disediakan.

Istrinya menjawab bahwa yang terssedia sekedar cukup buat makanan anak-anaknya.

Mendengar itu ia berkata, "Kalau begitu buatlah anak-anak kita lalai dan tertidur. Dan bila tamu kita mulai makan, padamkanlah lampu dan berpura-puralah kita turut makan bersama-sama."

Segala perintah itu di turuti istrinya.
Dengan demikian tidurlah mereka sekeluarga dengan menahan lapar.

Pada pagi harinya ia menemui Rasulullah.

Maka beliau pun berkata kepadanya, "Tuhan sangan senang melihat perbuatanmu semalam." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Memuliakan tamu itu meliputi menyambut kedatangannya dengan air mata yang jernih dan menyenangkan selama ia di tempat kita (dalam batas perjamuan sebagaimana tersebut di atas) dan membicarakan yang baik-baik dengan dia. Selain itu juga menempatkannya di tempat yang baik dan kita sendiri yang melayaninya, dan selama tiga hari kita menyiapkan makan-minumnya. Segera setelah kedatangannya, kita mesti mengajaknya minum ataupun makan jika waktunya tiba.

Hatim Al-'Asham berkata, "Bergegas-gegas itu tabiat setan, kecuali bergegas-gegas dalam lima hal, karena yang lima itu berasal dari sunnah Rasulullah SAW: pertama, menyediakan makanan untuk tamu yang datang; kedua, menyelenggarakan (mengurus) jenazah; ketiga, mengawinkan gadis; keempat, menyelesaikan utang; dan kelima, bertaubat dari dosa."

Meskipun demikian, tidak berarti dalam menerima tamu kita ha rus menyusahkan diri sendiri. Berusaha secara maksimal dalam memuliakan tamu berarti mengusahakan sebaik-baiknya yang kita mampu,  namun tidak sampai melakukan sesuatu di luar kemampuan. Tetapi jarang orang yang menjamu tamu dengan melakukan sesuatu di luar kemampuan.Yang banyak justru orang yang kurang melayani tamu dengan baik. Terkadang tamu diajak berbincang berjam-jam tanpa disuguhi apa-apa, atau hanya air.

Nabi SAW bersabda kepada Aisyah RA, "Wahai Aisyah, janganlah engkau memberat-beratkan diri untuk tetamu yang menyebabkan engkau jemu kepadanya. Berikanlah kepadanya apa yang engkau makan untuk dirimu sendiri."

Salman berkata, "Sekiranya kami tidak dilarang memberat-beratkan diri dalam menyambut tamu, tentulah saya memberat-beratkan diri dalam memuliakan tamu-tamu saya itu." (HR Ahmad).

Dari hadits itu, kita dapat memahami bahwa apa yang ada pada kita (yang kita makan) sebaiknya disuguhkan juga kepada tamu. Jangan mencari-cari yang sulit, namun juga jangan menyembunyikan yang ada. Misalnya, kita tahu tamu yang sedang menginap di rumah kita senang durian namun sedang tidak musim durian, tidak perlu kita mencari-carinya karna akan menyulitkan. Atau sedang musimnya tetapi kita tidak mampu untuk membelinya atau sangat memberatkan keuangan kita, maka kita tidak perlu memaksakan diri. Namun bisa sedang musim dan mudah mencarinya, dan kita pun mampu membelinya, apalagi jika kita diberi kelebihan harta, baik sekali jika kita melakukannya.

Jangan sampai tamu disuguhi air saja, padahal di rumah kita banyak lauk pauk, buah, atau kue-kue, atau kita mampu membelinya. ini terutama tamu yang cukup lama berada di rumah kita, misalnya sampai setengah hari atau sampai menginap.

Hendaklah tuan rumah sendiri yang melayani tamunya. Begitu juga ketika tamunya pulang, hendaklah tuan rumah sendiri yang mengantarkan sampai ke pintu rumah. Mengenai tersebut Abu Hurairah mengatakan, "Di antara sunnah Rasulullah adalah mengantarkan para tamu sampai ke pintu rumah." (HR Ibnu Majah).
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments:

  1. Silaturahmi sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial

    ReplyDelete